Besarkan Pabrik Dahulu, Baru Dirikan Museum
Sejak usia 15 tahun, batik menjadi cinta pertama Santosa Doellah. Selama 58 tahun, laki-laki yang kini berusia 73 tahun itu menggeluti dunia batik. Mulai menjadi kolektor, menulis buku, hingga mendirikan museum batik di Solo, Jawa Tengah.
Sejak usia 15 tahun, batik menjadi cinta pertama Santosa Doellah. Selama 58 tahun, laki-laki yang kini berusia 73 tahun itu menggeluti dunia batik. Mulai menjadi kolektor, menulis buku, hingga mendirikan museum batik di Solo, Jawa Tengah.
Laporan Dinda L.A., SOLO
AROMA bunga setaman menguar begitu memasuki Museum Batik, Jalan Brigjen Slamet Riyadi, Solo. Aroma itu berasal dari mangkuk-mangkuk kecil berisi bunga mawar, melati, kenanga, dan kantil yang diletakkan di sudut-sudut ruangan. Ada pula sebaran merica putih di sekitar mangkuk-mangkuk itu.
Jangan salah duga. Itu bukan sesaji untuk menolak bala. Melainkan ramuan yang membuat batik harum terus sepanjang masa. Selain itu, ramuan tersebut konon bisa mempertahankan warna asli batik.
Itulah museum milik kolektor batik Santosa Doellah. Museum itu berada di dalam Dalem Wuryaningratan yang semula merupakan kediaman keluarga KRMH Wuryaningrat, menantu raja Kasunanan Surakarta saat itu, Paku Buwono X. Santosa yang juga dikenal sebagai owner Batik Danar Hadi membelinya pada 1997 seharga Rp28 miliar. Pada 2000, Santosa menyulapnya menjadi kompleks wisata batik terlengkap di Indonesia.
Selain museum, di kompleks Dalem Wuryaningratan yang luasnya 400 meter persegi itu, terdapat pendapa dan Ruang Sasono Mangunsuko. Ada pula workshop pembuatan batik. Namun, lantaran tempat yang dibutuhkan untuk membuat batik semakin besar, sejak Agustus lalu workshop itu dipindah ke pabrik di Pabelan, Solo, sekitar 20 menit dari Dalem Wuryaningratan.
Museum Batik mengoleksi 10 ribu potong kain batik dari berbagai kawasan, dalam dan luar negeri. Juga aneka corak dan warna. Sebagian koleksinya, sekitar 600 potong, dibeber sebagai pajangan di sebelas ruangan berdasar kategori tertentu. Di antaranya batik Belanda, Tiongkok, Djawa Hokokai, India, keraton, sudagaran, petani, Indonesia, dan produksi mereka sendiri, Danar Hadi.
Menurut Santosa, di antara ribuan batik koleksinya, yang paling mengesankan adalah batik warisan Belanda yang kini berusia 174 tahun. Batik itu diperoleh dari hasil pelelangan dengan harga Rp300 juta.
"Batik itu termasuk koleksi paling istimewa di museum ini," ujar Santosa ketika ditemui di sela-sela persiapan perayaan Hari Batik Nasional dan peringatan Hari Ulang Tahun Ke-47 Danar Hadi di Solo, Sabtu (20/9). Hari Batik jatuh pada 2 Oktober nanti, sedangkan ulang tahun Danar Hadi pada 26 September lusa.
Santosa mengaku mulai menyenangi batik ketika usianya baru 15 tahun. Kesenangan itu sampai sekarang tidak pernah pudar. "Saya tidak pernah bosan-bosannya menyenangi batik. Hampir seluruh hidup saya untuk batik," tambah pengusaha yang tidak sempat menamatkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung karena memilih berfokus mengembangkan usaha batiknya itu.
Bagi Santoso, museum menjadi cara tersendiri untuk menuangkan kecintaannya kepada batik. Sebab, dengan museum itu, dia bisa tetap memandangi koleksi batik kesayangannya sekaligus dapat melestarikan khazanah kekayaan budaya Nusantara tersebut.
Selain membuat museum, Santosa telah menerbitkan buku perkembangan batik buah pikirannya. Yakni Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan (terbit 15 tahun silam) serta The Glory of Batik yang terbit pada 2011. Dengan buku itu, dia ingin mencatat sejarah batik dari masa ke masa.
Suami Danarsih itu mengatakan, setiap waktu batik harus berkembang. Perkembangannya sangat bergantung pada upaya yang dilakukan para pemangku kepentingan di dunia batik.
"Saya mempertahankan batik dengan terus mengembangkan desain terbaru. Desain batik itu seperti air mengalir, tak ada habisnya," ucapnya perlahan.
Sepanjang perjalanan menggeluti batik, Santosa mengingat bahwa masa paling gamang terjadi sekitar 1972. Saat itu dia kesulitan untuk mendapatkan bahan baku di pasar. Semakin sedikit orang yang menjual kain mori (kain putih untuk membuat batik). Padahal, pabrik harus terus beroperasi.
"Terpaksa saat itu kami menggunakan bahan baku seadanya. Di kemudian hari kami memutuskan untuk mendirikan pabrik tekstil sendiri biar tidak bergantung pada bahan baku dari luar," bebernya.
Kini usaha itu mulai ditularkan ke anak-anaknya. Bahkan, Santosa membebaskan anaknya untuk berkreasi dalam mengembangkan bisnisnya. Tidak harus seperti yang dilakukan orang tuanya. "Saya tidak pernah memaksa mereka melakukan apa pun, terserah anak-anak. Sebab, kalau dipaksa, justru tidak akan berkembang," tutur bapak empat anak (satu meninggal) itu.
Sudah lima tahun terakhir Santosa benar-benar lepas tangan. Dia menyerahkan semua usahanya kepada putra-putrinya. Dia yakin anak-anaknya mampu mengembangkan dan melestarikan batik lebih baik dibanding era dirinya.
Diana Santosa, putri kedua Santosa Doellah, mengakui bahwa dedikasi bapaknya terhadap batik sangat tinggi. Karena itu, tidak ada satu pun kebijakan sang bapak yang tidak di-support keluarga. Termasuk saat Santosa memutuskan membeli Dalem Wuryaningratan untuk keperluan Museum Batik. Keluarga memahami, diperlukan banyak waktu, tenaga, dan biaya untuk mendirikan museum tersebut. "Tapi, kami tahu hal itu sangat berarti untuk bapak," ujar perempuan 44 tahun tersebut.
Begitu mendapat kepercayaan dari sang ayah, Diana bersama saudara-saudaranya mulai berbenah. Salah satunya dengan membentuk tim desain yang khusus mendesain motif sampai cutting busananya. Rupanya, strategi pengadaan tim desain saat itu sangat tepat. Sebab, tidak lama kemudian, terjadi booming batik di Indonesia. Diana pun sudah siap meramaikan pasar batik dengan potongan yang bervariasi.
"Semakin ke sini, batik terus diminati. Karena itu, dalam empat tahun terakhir kami menambah sepuluh desainer muda untuk memperkuat tim desain," papar alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta tersebut.
Agar desainnya terus up-to-date, Diana merekrut para desainer muda dari sekolah-sekolah desain yang modern. Misalnya dari sekolah desain Esmod dan LaSalle College. Dalam satu bulan, mereka dituntut harus bisa menghasilkan enam desain baru. Mulai motif batik sampai pola cutting bajunya.
Diana juga pernah memberi tugas para desainernya untuk mengombinasikan motif batik barunya dengan motif yang pernah ngetren. Maka, tim desain lalu menggabungkan motif hound’s-tooth dengan batik. Hasilnya, pasar sangat menyukainya. "Desain itu langsung ludes di semua butik kami," ujarnya.
Diana juga mulai memahami selera dan karakter pasar. Dia mencontohkan, selera pasar di Surabaya berbeda dengan di Jawa Tengah atau Jawa Barat. Konsumen Surabaya lebih menyenangi batik-batik dengan corak dan warna yang mencolok. Sedangkan konsumen Jawa Tengah atau Jawa Barat lebih menyukai batik dengan warna alam.
"Bapak pernah membuat satu kemeja dengan tiga warna ngejreng: hijau, merah, dan kuning. Yang seperti ini tidak laku di kota lain, tapi langsung habis di Surabaya," terangnya.
Jadi, kadang batik berwarna menyala yang tidak laku di daerah lain dibawa ke Surabaya. Begitu pula sebaliknya. Sekarang usaha yang dirintis Santosa mulai 1967 itu telah berkembang pesat dengan seribu karyawan di Solo. Belum termasuk karyawan yang menyebar di 24 butik di sepuluh kota di Indonesia. Produk mereka juga banyak diminati di sejumlah negara Eropa, Amerika, dan Australia.
Namun, bentuknya masih berwujud kain, belum dalam bentuk baju dengan variasi modelnya. Sebab, negara-negara pengimpor mensyaratkan, kalau dalam bentuk baju, modelnya harus bisa dipakai untuk empat musim: semi, panas, gugur, dan dingin. Padahal, selama ini Diana baru bisa memenuhi pesanan untuk kebutuhan dua musim di Indonesia.
"Selama ini yang banyak dipesan batik cap dan printing. Mungkin karena dua jenis itu lebih terjangkau. Sedangkan untuk batik tulis, segmennya tersendiri. Harganya memang lebih mahal," ungkapnya. (p2/c2/ary)
0 komentar:
Post a Comment